Sore itu laut tampak berkilauan seperti emas, ombak yang tak terlalu ganas sesekali menghantam bibir pantai yang dibatasi barisan beton. Matahari tampak beranjak pergi meninggalkan beberapa bagian dunia. Cahayanya makin hilang dan hilang. Saat itu berdiri lah seorang perempuan cantik, wajahnya sedikit lusuh tetapi tetap cantik. Dia memakai semacam gaun putih, gaun yang indah ketika angin dengan segera mengibas – ngibasnya. Dia tampak seperti putri laut, satu – satunya perempuan cantik yang ada di ujung pantai. Wajahnya datar dan dia terus memandangi kedalaman laut. Seperti dia telah mengenal laut itu, seperti laut itu miliknya. Dia berjalan pelan, seperti terbata. Terlihat dia berjalan dengan tongkat, terlihat dia berjalan dengan alat penopang. Perempuan itu hanya punya satu kaki, tapi dengan pasti dia melangkah, pasir putih tak menyusahkannya untuk melangkah. Melangkah dengan satu kaki. Perlahan dia menaiki pembatas pantai lalu berjalan semakin pelan. Semakin pelan, sampai pada ujungnya. Dia berhenti, perempuan itu menengadah keatas. Langit mulai gelap, seakan bersedih.
Dikejauhan terlihat seorang pria dengan pakaian sangat sederhana, dengan wajah tak kalah lusuh. Dipunggungnya tergantung sesuatu yang tak layak disebut tas. Seperti tumpukan barang –barang yang sangat berharga baginya, diikat kencang di pundaknya. Dia berjalan agak membungkuk tampak kelelahan dengan harinya. Pria itu selalu menatap kebawah berharap menemukan sesuatu yang berharga. Seonggok plastik tampak sangat bernilai baginya ketika ditatapnya dengan berbinar – binar, dengan kawat yang dibentuk panjang melengkung diujungnya pria itu mengaruk tumpukan yang dilihatnya. Banyak yang bisa dia dapat dari perhentiannya ini. Lalat yang beterbangan sesekali menghinggapinya tampak tak dihiraukan olehnya. Pemandangan ini telah menjadi warna hidupnya, walau sebagian orang sangat menganggapnya rendah.
Saat asyik mengumpulkan plastik –plastik, pria itu tiba – tiba mendengar suara dari kejauhan. Suara yang seiring dengan tangisan oleh seorang wanita bergaun putih. Wanita itu tampak sedikit teriak seperti marah pada lautan. Dari kejauhan pria itu tak begitu jelas mendengarkan apa yang dikatakan wanita itu. Pria itu lalu menghentikan kegiatannya, dengan segera dia menuju ke tempat wanita itu berdiri. Jalannya sedikit dipercepat, sampai dia bisa mendengar dengan jelas. “Buat apa aku hidup..?! Aku sudah tak berguna lagi… Aku kini hanya sampah masyarakat yang tak pantas hidup..,! Aku mau mati saja… itu lebih baik dari pada hidup seperti ini…” jeritan wanita itu membuat pria itu terdiam, sesekali wanita itu terisak. Pria itu hanya terdiam dan tak tau harus berbuat apa – apa. Pikirannya sulit merangkai kata – kata. “Aku mau mati….!!” Teriak wanita itu lagi. Wanita itu tak tau bahwa seorang pria sedang berdiri dibelangkanya semakin gelisah tak tau harus bagaimana. Wanita itu lalu melangkahkan kakinya. Hendak menuju ujung pembatas pantai. Hendak melompat. Angin semakin kencang dan matahari sudah ditelan lautan seakan mengantarkan kematian wanita itu. Melihat itu, pria itu merasa harus melakukan sesuatu. “Nona… jangan nona…, bunuh diri itu tidak baik…” kata pria itu sambil melangkah sekali dengan tangan hendak meraih wanita itu. Tapi gelisah juga sangat mendera pria itu karena pikirannya dipenuhi pertanyaan bagaimana jika wanita itu melompat. Pria itu kemudian melangkahkan lagi kaki nya. Pelan dan semakin pelan. Namun sebelum dia menggapai tangan wanita itu, wanita itu lalu menoleh. “jangan dekati aku!!” katanya sambil air matanya mengalir lembut dipipinya. Rambutnya beterbangan tertiup angin, menjadikan sosok wanita ini semakin cantik. Pria itu sedikit terkejut melihat wajah wanita itu. Dia seperti melihat malaikat dengan jarak begitu dekat. Sampai – sampai pria itu kemudian tak berani memegangnya. “Ini bukan urusanmu, aku mau mengakiri perjalanan hidupku yang terlalu menyakitkan ini…” kata wanita itu lagi. Kemudian dia berbalik lagi. “jangan nona, aku memang tak tau apa yang menderamu saat ini, apa yang membuatmu sampai berani berbuat nekad seperti ini, tapi satu yang aku tahu seorang malaikat cantik berusaha menghilangkan nyawanya, dan aku tak akan membiarkan itu..” wajah pria itu berubah lebih serius. “Turunlah bersamaku nona, aku akan menolongmu..” pria itu mengulurkan lagi tangannya. “jangan sentuh aku..!! aku bukan malaikat..!! aku orang hina yang tak berguna lagi…” pria itu kemudian semakin mendekati wanita itu. “ayolah nona, kamu tak mungkin melakukan ini, dibawah sana sangat dingin, kamu akan sangat menderita, ayo pegang tanganku…” kata pria itu sambil tetap merayu wanita itu untuk tak melompat. Angin semakin kencang membuat gaun wanita itu berkobar – kobar, sampai bunyi kobarannya terdengar jelas. Semakin dramatis suasana di pantai itu antara dua orang yang baru bertemu. Antara seseorang yang mau mati dan seorang yang masi punya semangat hidup. “ tak ada gunanya semua ini, aku hiduppun hanya kesedihan yang aku miliki, aku ingin bahagia…” kata wanita itu. “kebahagiaan apa yang kau inginkan? Percayalah kau masi bisa mendapatkannya disini. Dengan mengakhiri hidupmu seperti ini kau juga tak akan mendapat kebahagiaan, bahkan kau akan lebih menderita. Bunuh diri itu hanya mengantarmu ke penderitaan abadi, dan apapun dosamu saat ini masi bisa kau bayar dengan tetap hidup untuk kebahagiaanmu kelak.” Pria itu sangat berharap kata – katanya bisa memimpin wanita itu untuk tak bunuh diri. Sejenak wanita itu terdiam, dia menjadi tenang, anginpun ikut – ikutan tenang. Sejuk kemudian terasa menyelimuti raganya.
Laut tiba – tiba menjadi tenang, mereka berdua sejenak terdiam. Pria itupun masi mengurungkan niatnya untuk segera menggenggam wanita itu. Dia sengaja membiarkan wanita itu bisa tenang dulu. Dengan dada yang berdegup kencang pria itu terus menunggu reaksi wanita itu setelah mendengar kata – katanya. Dia menatap wanita itu dan kemudian tersadar kembali bahwa wanita ini sangat cantik, seperti dewi dari kayangan. Dia tak pernah melihat sosok secantik ini selama hidupnya. Hidupnya habis ditelan pekerjaannya sendiri mengumpulkan sampah demi menyambung hidupnya. Diri sendiri sering diabaikannya, apalagi untuk melihat orang lain. Tapi hari ini dia seperti mendapat hadiah luar biasa dari Tuhan dengan bisa sejenak meninggalkan pekerjaannya untuk bertemu dan berbicara dengan seorang bidadari cantik. “ tapi jika aku tak mati sekarang, aku tak yakin kebahagiaan akan kuperoleh kembali..” wanita itu berbicara pelan sambil menatap laut yang telah tenang. Malam semakin menyelimuti tempat itu. Malam dengan banyak bintang, malam yang tak beda dengan malam –malam biasanya di kota itu. “aku tak mungkin menemukan cinta lagi, dengan kondisi seperti ini takkan ada yang bisa menghargaiku..” kata wanita itu lagi sambil menatap bagian kaki sebelahnya yang puntung. Mendengar itu semua, pria itu tak sanggup berkata apa – apa. Dia hanya bisa terus mendengarkan dan mendengarkan. Dan dalam hati kecilnya dia sangat berharap bidadari yang ditemuinya ini mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidup. “apa yang aku punya dulu telah hilang… semua telah hilang… kini aku sebatang kara, tak ada lagi yang sayang padaku..” lanjut gadis itu yang masi menatap laut. “Aku siap menyayangimu….” Kata pria itu tiba – tiba dengan nada serius. Wanita itu langsung menoleh dan menatap wajah pria itu. Pria itu tampak kaget dengan apa yang baru saja diucapkannya sendiri. Tapi dengan sangat berani dia lalu menggemgam tangan wanita itu dan lalu berkata “aku… akulah yang akan menyayangimu, aku tak tahu apa Tuhan memang sengaja mempertemukan kita seperti ini, yang jelas aku tahu bahwa ini pasti terjadi, sekarang tak ada alasan lagi buatmu mengakiri hidup, turunlah bersamaku…” pria itu terus berkata – kata sesuatu yang sama sekali tak dipersiapkannya sendiri. Respon wanita itu ditangkapnya baik. Tampak kesedihan terhapus diwajah wanita itu walau tanpa senyum. Wanita itu kemudian seperti terhipnotis seseorang, dia melangkahkan kakinya mengikuti pria itu, dengan tongkat yang menopang bagian sebelah badannya dia mulai menuruni pembatas pantai. “Mari aku bantu… hati – hati…” kata pria itu sambil berhati – hati menuruni pembatas itu.
Dengan perlahan namun pasti akhirnya kaki mereka menyentuh pasir. Pasir putih yang jumlahnya milyaran terasa hangat terpijak. Sejenak mereka saling bertatapan dan kemudian ada senyum terbersit dari wajah pria itu. “Terima kasih sudah mendengarkan aku…” kata pria itu sambil tersenyum. “Aku tidak tau apa yang membuatku bisa menurutimu….” Wanita itu akhirnya berkata. Bintang – bintang seperti turut berbahagia pada moment itu, “aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tak datang..” kata wanita itu sekali lagi yang langsung tersadar bahwa mereka berdua masi saling menggenggam. “Sudahlah.. jangan ungkit itu lagi, yang penting sekarang kau jangan bersedih lagi, aku siap menemanimu…”
Mereka berdua lalu meninggalkan pantai dengan berjalan pelan. Sambil berjalan meninggalkan pantai mereka bercakap – cakap. “kita belum saling kenal… nama aku Arthur, kamu…?” kata pria itu kemudian. “aku Ellen..” wanita itu menjawab sambil tersenyum. “jadi kemana tujuanmu sekarang?” Arthur bertanya sambil memberhentikan langkahnya. Mereka berdua sudah tidak di area pantai. Tampak lampu – lampu kota, dengan suasana sepi. “Aku akan pulang kerumah nenekku, rumahnya terletak disana..” kata Ellen sambil menunjuk persimpangan jalan yang berjarak cukup jauh dari tempat mereka. “kamu..?” lanjut Ellen. “oh.. aku tinggal di disamping taman kota, aku tinggal bersama sepupuku, namanya Lisa. Baiklah aku akan mengantarmu pulang..” sambung Arthur. “Oh.. tidak usah Arthur, aku bisa pulang sendiri…” lanjut Ellen. “Sampai jumpa lagi….” Ellen berkata sambil mulai berlalu. Arthur menuruti kemauan Ellen untuk tak mengantarnya pulang. Beberapa detik setelah Ellen berlalu dia pun berbalik. “Arthur…! Terimakasih…” kata Ellen yang berjarak beberapa meter dari Arthur. “sama – sama Ellen.. satu hal yang perlu kamu ingat adalah kamu tak sendiri didunia ini, masi ada orang – orang yang sayang padamu.. ada nenek dan juga aku..”. Ellen pun tersenyum lagi mendengar itu. Dia lalu segera berlalu, bunyi tongkat yang digunakan untuk menopang tubuhnya masi terdengar jelas. Begitu juga dengan Arthur yang masi dengan tumpukan sampah di punggungnya kemudian berlalu melawan arah Ellen. Tak diduganya bahwa hari ini dia akan mengalami pengalaman berharga, pengalaman yang tak mungkin dilupakannya. Dia tersenyum tipis melangkah tegap dan gagah pulang kerumahnya. Malam semakin larut dan larut…
…………………………………………………………………………………
“Arthur… Bangun.. sarapanmu telah siap…” tampak Lisa, sepupu Arthur telah menyiapkan makanan seadanya di meja makan rapuh yang mereka punya satu – satunya di dalam rumah sederhana itu. Lisa adalah sepupu Arthur yang tinggal bersamanya sudah hampir setahun. Layaknya Arthur, Lisa juga bekerja tak menentu. Pagi hari dia bekerja sebagai pembantu disalah satu rumah tetangganya, dan sore hari dia juga bisa memulung seperti layaknya Arthur. Lisa berambut ikal dan panjang. Umurnya tak beda jauh dari Arthur dan lebih muda. Potongan roti dan minuman telah siap menjadi sarapan mereka pagi hari. “Pagi Lisa.. maaf aku dari belakang sedang mengecek persediaan air kita..” kata Arthur yang muncul dari pintu belakang. Tampak Lisa sedikit kebingungan, tidak biasanya ia melihat Arthur bangun sepagi ini. “Wow.. ada apa ini? kau sangat berbeda hari ini..” kata Lisa sambil menatap aneh Arthur. “hahaha.. hari ini sama saja dengan kemarin.. tetap indah..” kata Arthur yang langsung menuju meja makan. Dia mengambil potongan roti dan menuang air di sebuah gelas. “jadi.. mau kemana kau hari ini? apa rencanamu..?” tanya Lisa yang juga mengambil potongan roti. “Aku menjadi buruh bangunan untuk proyek….” Arthur menjawab pertanyaan Lisa sambil masi mengunyah makanannya. “Proyek apa?” tanya Lisa antusias. “Aku juga belum tau jelas, tapi yang sempat aku dengar, kita hanya disuruh membangun tembok tinggi bertangga di tengah taman kota. Selebihnya akan diserahkan ke ahlinya. Itu yang aku ketahui..” jawab Arthur. “oh.. jadi jam berapa kau berangkat?” tanya Lisa. “Satu jam dari sekarang, para buruh diberi waktu hanya satu minggu menyelesaikan proyek ini.” kata Arthur yang segera menyelesaikan sarapannya.
Dengan segera dia beranjak dari meja makan, mengambil peralatan yang dibutuhkannya dan berjalan kearah pintu. Lisa mengikutinya dari belakang, mereka saling beriringan. Dan tiba – tiba Arthur mendadak berbalik. “Ah.!” Lisa terkaget, wajah mereka hampir bersentuhan. Hanya berjarak satu senti. Nafas keduanya saling beradu dan hembusannya sangat terasa satu sama lain. Sejenak keduanya terdiam. “Oh.. maaf, aku lupa mengambil keranjangku.” kata Arthur sambil bergerak sedikit kebelakang. “ Kau akan lanjut?” tanya Lisa. “Iya, setelah bekerja ditaman kota, aku akan langsung mencari sampah plastik.” Jawab Arthur. Setelah itu Arthur masuk kembali dan mengambil barang yang ia maksud. Lisa tetap saja terdiam didepan pintu. Dan sekali lagi Arthur melewatinya sambil sedikit tersenyum padanya. “Hati – hati ya…” Lisa melambaikan tangan pada Arthur disambut senyuman oleh Arthur. “iya...”. Arthur kemudian berlalu ditelan keramaian kota, pagi itu tampak kota sangat sibuk. Lisa terus menatap Arthur sampai dia benar – benar tak kelihatan. Sambil memegangi bibirnya yang hampir bersentuhan dengan pria pujaannya. Walaupun Lisa sadar bahwa masi ada hubungan darah dengan Arthur, tapi dia sudah menyimpan perasaan suka terhadap Arthur selama berbulan – bulan, tetapi dia masi menyembunyikannya dari Arthur, sepupunya.
………………………………………………………………………………………….
Masi pada pagi itu di sebuah rumah kecil. Tinggallah Ellen, wanita berkaki satu dengan seorang nenek. Nenek itu hanya terdiam disebuah kursi, dan hanya itulah yang bisa dikerjakannya. Dia seperti menunggu mati, tatapannya kosong, tak ada harapan. “nenek.. ini segelas susu aku buatkan untuk nenek.., diminum ya nek.” Ellen membawa secangkir susu yang baru saja dibuatnya.Neneknya hanya terdiam dikursi itu. “Nek, nanti sore aku akan berjalan – jalan di sekitar pantai.” Kata Ellen sambil melap sedikit debu diatas meja. Neneknya lalu menatap Ellen dengan tatapan kosong, Ellen menganggap itu sebagai tanda setuju. Ellen kemudian beranjak ke jendela, merasakan udara pagi yang segar, sebelum siang merebut semuaya, dia cepat – cepat menikmatinya. Kemudian dia merasa tenang menatap keluar jendela. Perasaannya tak menentu, pikirannya sedang dikuasai oleh seseorang, seorang pemuda tampan berpakaian terlalu sederhana. Pikirannya sedang dipenuhi oleh Arthur, sang pemulung.
………………………………………………………………………………………………
“Ok..! hari ini cukup sekian.. kerja kalian bagus..!” kata seorang pengawas berbadan tegap. Hari begitu cepat berlalu, Arthur pun menyudahi pekerjaannya. Dia mengambil air dan potongan cake yang disediakan untuk para buruh. Iya terduduk dan beristirahat sejenak. Tapi karena dia harus melanjutkan pekerjaannya maka dia segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Dia langsung menuju ke daerah sekitar pantai. Sambil berjalan, dia mengumpulkan bahan plastik yang bisa dilihatnya. Dia sedikit tergesa – gesa, seperti sesuatu memaksanya berbuat tak maksimal sore itu. Tumpukan sampah yang dilewati tak sepenuhnya di orak arik olehnya. Tak lama kemudian dia sadar bahwa dia sudah ada di daerah pantai. Dadanya berdegup kencang, dia menoleh kekiri dan kekanan, dia mencari bidadari yang kemarin di temuinya di tempat itu. Dia berjalan pelan dan pelan mencari sosok Ellen, gadis berkaki satu itu. Sesekali dia menginjak plastik tetapi tak dihiraukan olehnya. Dia masi mencarinya, hatinya tak menentu.
“Arthur…” sebuah suara lembut datang dari arah belakang Arthur. Arthur kemudian berbalik dan mendapati Ellen dengan senyum manisnya. “Hai Ellen..,sejak kapan kamu disini?” tanya Arthur yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. “baru saja kok, aku memang berencana ke pantai sore ini, dan aku tahu kau akan datang juga” jawab Ellen. Arthur pun tersenyum mendengar itu dan lalu mengajak Ellen mengitari pantai. Desiran ombak menyelinap diantara kaki mereka. Banyak jejak kaki lalu tercipta dipantai itu, juga jejak sebuah tongkat. “Jadi apa yang kamu lakukan hari ini Ellen..?” Arthur bertanya sambil merapikan letak keranjang dipunggungnya. “Banyak.. aku membantu Bu Clary menjual buahan, merajut, dan tentunya menjaga nenek. Hanya dia satu – satunya harta yang aku miliki, dan betapa bodohnya aku hampir meninggalkannya kemarin..” kata Ellen sambil sedikit menunduk. Arthur sadar bahwa topik ini tak baik dilanjutkan, sehingga dia mengalihkan pembicaraan. “Lihat awan dilangit, begitu indah lukisan Tuhan sore ini..” katanya menatap langit. Ellen pun lalu menatap langit. Rambutnya yang diikat membuat wajah Ellen makin bersinar sore itu. Mereka terus mengitari pantai, saling melepas pertanyaan satu sama lain. Sambil masi menyembunyikan rasa kangen satu sama lain. Sore itu masi lebih cerah dari biasanya, anginpun menerpa dengan tak ganas. Sejuk dan sepoi.
“Lihat, disana ada pondok. Bagaimana kalau kita istirahat disana?” Ellen menunjuk sebuah pondok yang tampak sangat nyaman dari kejauhan, disampingnya tumbuh pohon kelapa tanpa buah. “Boleh..”. Arthur dan Ellen lalu menuju ke pondok itu. Sesampainya disana mereka berdua mengambil posisi duduk paling nyaman. Dari pondok itu mereka berdua bisa melihat pemandangan laut yang sangat indah. Kilauan cahaya matahari tenggelam saling beradu diatas ombak. “Arthur, kau belum menceritakan padaku proyek apa yang kau kerjakan di taman kota.” tanya Ellen yang hampir terlarut dengan apa yang dilihatnya. “Oh… aku kurang tau soal itu. Mereka hanya memerintahkan membuat semacam menara, setelah itu mereka akan melanjutkan bangunan itu ke tujuan sebenarnya. Tapi tak satupun dari kami buruh yang mengetahuinya.” Jawab Arthur kemudian. “Bangunan itu tepat berdiri ditaman kota, dan aku mendapat upah yang lumayan untuk proyek itu. Tetapi aku masi harus mengumpulkan ini untuk tambahan uang.” Lanjut Arthur yang merapikan keranjangnya. Tampak beberapa bahan plastik bekas didalam keranjang itu. Dia menghela nafas, dia sadar bahwa plastik yang didapatnya tak sebanyak hari – hari biasa. “Aku kagum padamu, kau sosok yang tak pantang menyerah dan bertanggungjawab. Kau juga baik.” Kata Ellen. “Mmm.. ini hanya tuntutan semata, tuntutan dari perut yang tak bisa kompromi. Apa yang bisa kukerjakan dengan halal akan kukerjakan. Semua demi menyambung hidup. Kadang aku bermimpi menjadi orang – orang di pemerintahan yang hanya bisa memberi perintah, punya kedudukan, dan uang. Tapi apalah arti semua itu kalau aku sendiri tak mendapat kebahagiaan dari itu semua.” Arthur melanjutkan kata – katanya. “Cinta…. Itu yang aku butuh, aku selama ini merindukan itu..” dipikiran Arthur pun terbersit pikiran seks, dan hawa napsu yang berkecamuk selama ini. Tapi dia tak mungkin mengatakan hal itu didepan Ellen. “Arthur, aku ingin jujur satu hal kepadamu. Aku takut mengatakannya, tapi aku rasa aku harus memberitahumu. ” Kata Ellen sambil meremas – remas tangannya sendiri. “Apa itu Ellen? Katakan saja..” Arthur terlihat sangat ingin mendengarkan.
Butuh waktu 15 detik lalu Ellen membuka mulut.”Aku seorang pelacur… Aku hina..” kata Ellen pelan. Arthur sedikit shock mendengar itu. Dahinya mengernyit tapi dia masi mau mendengar kata - kata Ellen selanjutnya. “Dulu aku tinggal di satu kota kecil dekat perbatasan. Aku tinggal bersama dua adik dan ayahku yang sakit –sakitan. Tapi walaupun dia sakit, dia masi bisa menjadi kepala keluarga yang mengarahkan kami. Untuk mencukupi kebutuhan mereka semua, aku terpaksa bekerja seperti itu. Sampai suatu saat aku mengalami kecelakaan yang membuat satu kakiku harus diamputasi. Setelah aku sembuh dan bisa berjalan dengan bantuan tongkat, aku lalu berterus terang kepada ayahku. Aku benar – benar sangat memberanikan diri mengaku itu semua, walau aku tau ayah akan sangat marah apapun alasanku melakukannya.” Ellen menghela napas lagi dan melanjutkan ceritanya. Sementara Arthur semakin serius menyimak. “ dan benar saja, ayahku begitu murka, tanpa sedikitpun mendengarku, aku diusir dari rumah, dan diasingkan disini bersama nenek yang juga sebatang kara. Sampai saat ini aku merindukan ayah, dan adik – adikku. Aku berharap ayah sudah memaafkan aku..” Ellen lalu tertunduk menangis. Isakan tangisnya terdengar begitu sedih.”sekarang kau bisa meninggalkanku Arthur, sekarang kau tau siapa aku..” katanya sambil masi tertunduk menangis. “Ellen… Ellen lihat aku..” kata Arthur dengan tenang. Ellen lalu menengadah, matanya masi berkaca – kaca. Arthur lalu merangkul Ellen, meletakkan kepala Ellen di pundaknya. Mengusap kepalanya, dan dengan tak ambil pikir dia mencium kening Ellen. Dia semakin erat memeluk Ellen. Ellen masi saja menangis dipundak Arthur. “Tak apa – apa.. ada aku disini..” kata Arthur pelan kepada Ellen.
Elllen larut dalam kenyamanan di bahu Arthur, dan Arthur pun dengan senang hati menjadi tempat Ellen bersandar. Hampir sejam mereka hanya terdiam, dan malampun telah datang. Suara desiran ombak terdengar bergantian,walau tak kelihatan apa – apa. Karena begitu menikmati moment itu, Ellen lupa kalau dia ada pekerjaan yang harus dilakukannya sampai Arthur membuatnya sadar. “Ellen, kau tak apa – apa disini sampai malam?” kata Arthur yang sedikit memecah kesunyian malam itu. “Astaga…!” Ellen teranjak tiba –tiba. “Aku lupa, malam ini aku harus menemani Bu Carly menyusun buah di keranjang.” Kata Ellen sambil mengusap matanya yang masi sedikit berair. “Aku harus pulang sekarang, Arthur..” katanya tergesa – gesa. Dia berdiri dengan tongkatnya, dan kemudian Ellen memeluk Arthur dengan erat. “Terimakasih sekali lagi, aku senang bertemu kau disini..” Setelah itu Ellen dengan tergesa – gesa melangkah dengan tongkatnya. Tampak dengan mahir dia berjalan cepat seperti orang normal. “Hati – hati….” Teriak Arthur kepada Ellen yang telah menjauh dari pantai. Arthur lalu membereskan keranjang dan barang bawaan lain yang dibawanya. Dengan tersenyum dia berjalan meninggalkan pantai,seorang diri. Melewati kota yang masi tampak sibuk. Dipikirannya masi ada gadis itu, Ellen.
………………………………………………………………………………………………….
Hari kedua untuk pengerjaan proyek ditengah taman kota. “Perhatian semuanya..!!” seorang pengawas berbadan kurus membawa sebuah pengumaman penting. Sontak semua buruh menghentikan pekerjaannya secara serempak, termasuk Arthur yang bersiap mendengarkan pengawas itu. “Karena satu dan lain hal, pengerjaan bangunan ini akan dipercepat..!!” katanya sambil memperhatikan wajah para buruh. Kalimat pertama darinya membuat para pekerja mengernyitkan dahi. Disambut suara – suara tak setuju dari para buruh. “Tenang semuanya..!!!!!” salah satu pengawas berbadan tinggi dan berotot berteriak kencang membuat semua buruh terdiam. “Silakan lanjutkan…” lanjut pengawas itu kepada pengawas lain yang membacakan pengumuman. Pengawas itu lalu melanjutkan. “Walikota akan meresmikan proyek ini empat hari lagi, dan itu berarti kalian akan lembur selama tiga hari kedepan terhitung dari hari ini. sebagai imbalan, upah kalian akan dilipat gandakan.” Mendengar upah yang akan dilipatgandakan membuat para buruh menjadi puas. Arthur juga menganggap ini berita luar biasa. “Baiklah..! sekarang lanjutkan pekerjaan kalian..! dan ingat waktu kalian hanya 4 hari.” Kedua pengawas lalu meninggalkan taman kota. Para pekerja lalu melanjutkan pekerjaannya. Siang berganti sore dan malampun tiba. Para buruh masi ada dilokasi proyek.
Dipantai yang sama seorang wanita cantik menunggu pangerannya datang. Dia sedikit gelisah. Orang yang ia ingin temui tak kunjung datang. Ellen telah menunggu selama lebih dari dua jam dipantai itu, dia tak tahu bahwa Arthur harus lembur dengan pekerjaanya. Ditaman kota Arthur telah bersiap untuk pulang. Dalam perjalanannya dia teringat Ellen. “Ellen…, aku harus menemui dia…” dia kemudian berlari kecil dengan sisa tenaganya yang telah terforsir seharian. Semakin cepat dia berlari. Setibanya dipantai Arthur langsung mencari Ellen, dia menyisir pantai sampai ke pondok tempat mereka berdua berada hari sebelumnya. Hati nya gelisah, bidadarinya tak terlihat. Di depan pondok Arthur melihat jejak kaki dan tongkat, yang dikenalnya sebagai jejak Ellen. Tapi Ellen tak terlihat. Ellen telah pulang. Kecewa sangat melanda Arthur malam itu, dengan tertunduk didera rasa kangen luar biasa dia berjalan pulang.
…………………………………………………………………………………………………….
Tak ada yang beda dihari ketiga, selain bangunan ditengah taman kota yang semakin meninggi hari demi hari. Dengan senyum manis Lisa mengantar Arthur sampai di pintu. “Hati – hati Arthur, setelah selesai bekerja di taman kota, lebih baik kau langsung pulang.” Katanya sambil melambai. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Arthur tetapi banyak hal yang membuat keberaniannya masi kurang. Pagi itu cuaca berawan, tetapi matahari masi sempat menyelinap diantaranya.
Lisa keluar dari rumah menuju sebuah rumah besar . Rumah itu terletak kira – kira tiga ratus meter dari kediamannya. Karena dia kawathir akan turun hujan dia mempercepat langkahnya. Dan dengan segera dia sampai didepan rumah itu. Rumah yang tampak mewah, dengan gambar - gambar yang terlihat sangat antik terukir di tembok depan. Lisa bekerja dirumah itu. Rumah salah satu pejabat dikota itu. Dia bekerja sebagai perawat taman. Berbagai jenis tanaman hias dengan bunga – bunga yang indah kembali menyambutnya pagi itu. Satu demi satu taman dibersihkan,disiram, dan dirawat olehnya. Sampai dia beranjak kesebuah taman yang sangat dekat dengan jendela rumah itu. Salah satu jendela dilantai dasar yang terbuka. Setelah merapikan beberapa tanaman terdengar suara dari dalam ruangan pada jendela yang terbuka itu. Lisa dengan sengaja berusaha mendengar pembicaraan itu. Dia tersontak mendengar pembicaraan dari ruangan itu. Tampak majikannya Tuan Steven sedang berbicara dengan istrinya. Meraka berdua membicarakan soal proyek ditengah taman kota. Lisa yang memang penasaran dengan proyek itu lalu dengan sengaja berusaha mencuri dengar lebih banyak lagi. Kepalanya sedikit dijulurkan kearah jendela. Semakin banyak dan semakin jelas yang dapat didengarnya. Sambil berhati hati agar tak ketahuan, dia menjaga langkahnya yang telah menginjak sedikit tanaman bunga demi mendapat informasi tentang proyek ditengah kota. “Kau tak mungkin melupakan sepasang muda mudi yang tinggal diseberang sana. Bagaimana mereka dirajam dengan batu. Kami telah memutuskan untuk menjadikan kota ini benar – benar menjadi kota suci.” Kata Tuan Steven sambil mengambil cerutu yang ada diatas mejanya. “Tampaknya bangunan itu akan menjadi ancaman serius bagi penduduk kota ini.” istrinya menanggapi. “Lebih tepatnya bisa mengingatkan mereka bagaimana bersikap dikota suci ini.” Tuan Steven lalu mengambil dan memakai mantel, tampak dia akan melakukan kunjungan atau semacamnya. Sementara Lisa masi tak mau meninggalkan tempatnya, dia masi tetap berusaha mengumpulkan apa yang bisa didengarnya pagi itu. Sesuatu yang membuat dia bergetar, sesuatu yang tak main-main.
Disuatu tempat ditaman kota, para buruh masi dengan semangat mengerjakan pekerjaan mereka, tanpa diduga hasil lembur mereka sangat memuaskan. Pekerjaan terasa sangat cepat. Bahkan wajah puas terpancar diwajah para pengawas yang berjaga – jaga sepanjang hari di area itu. Tetapi ada yang lain diwajah Arthur, dia tampak sangat memikirkan sesuatu. Hatinya tak menentu, sangat gelisah, sangat tak tenang. Dia menjadi susah fokus. Rasa kangen luar biasa terhadap Ellen menyelimutinya. Dia sangat merindukan Ellen. Hari semakin cepat berlalu, sepanjang hari dia memaksakan dirinya untuk bekerja dengan perasaan gelisah tak menentu. Dia berusaha professional ditengah perasaannya yang kacau.
Malampun menyambut, tampak semua buruh sangat kewalahan , termasuk Arthur. Tapi dengan sigap Arthur langsung membereskan barang – barangnya, dia langsung bergegas kepantai, menemui wanita yang mengacaukan pikirannya seharian. Dia berharap Ellen ada disana. Makanan dan minuman yang disediakan untuk para buruh tak disentuhnya sama sekali. Rasa lapar belum cukup membendungnya membuang – buang waktu untuk bertemu Ellen malam itu. Dipantai sekali lagi dicarinya Ellen, pantai yang luas disisirnya. Pondok yang menjadi tempat mereka berdua malam sebelumnya juga didatanginya. Tapi yang didapatinya hanya jejak Ellen. Ellen sekali lagi telah menunggunya. Dan dengan menyesal dia tertunduk. “Ell…en…!!!” Arthur berteriak kearah pantai. Kekecewaannya terhadap dirinya sendiri tak bisa dibendungnya. “Ellen… aku disini…” katanya lagi dengan sedikit terisak. Tapi tak ada apa – apa dipantai itu. Ellen jelas telah pulang. Dan sekali lagi Arthur pun pulang, membawa kekecewaan.
Sepanjang perjalanan dia terus mengingat Ellen. Malam itu kota sedikit sepi, Arthur berjalan pelan menuju rumahnya. Udara sangat dingin, dan angin berhembus agak kencang membuat rambutnya berantakan. Dia berusaha menghangatkan dirinya dengan melipat kedua tangannya. Tak lama kemudian dia telah berada didepan rumahnya. Diputarnya daun pintu dan pintu terbuka. Tampak Lisa sedang menunggunya di meja makan mereka. “Arthur.. kau sudah pulang.. ini aku buatkan minuman hangat untukmu.” Kata Lisa sambil menawarkan minuman di sebuah cangkir kecil. Tetapi Arthur diam saja, dia tak menanggapi Lisa sedikitpun. Dengan raut wajah letih dia langsung meletakkan barangnya dan bergegas ke kamarnya. “Arthur..kau kenapa?” kata Lisa. “Arthur.. tadi pagi aku mendengar majikanku membicarakan soal proyek ditengah taman kota. Mereka membicakan soal….” Lisa hendak berbicara lagi ketika Arthur membentaknya. “Diam..!! jangan bicara lagi..!! Aku tak mau diganggu…” dengan nada keras Arthur menunjuk Lisa. Arthur lalu bergegas menuju kamar, dan membaringkan badannya. Perasaannya sangat kacau malam itu, dia juga tak sadar telah memarahi orang yang tak tau apa yang dirasakannya malam itu. Lisa hanya sedikit terkaget, dia terdiam sejenak. Lisa menghela nafas dan mulai berpikir positif bahwa itu bisa saja terjadi bagi orang yang terlalu letih. Malam semakin larut, Lisa dan Arthur telah tertidur pulas.
…………………………………………………………………………………………………………………
Hari keempat pembangunan proyek taman kota. Ellen sedang membantu Bu Carly merapikan buah yang baru saja dipetik. Buah – buahan itu terlihat sangat segar. Tapi raut Ellen terlihat sedikit murung pagi itu, dan Bu Carly bisa membacanya. “Kamu kenapa gadis cantik..? kau terlihat sangat murung di pagi yang indah ini..” kata Bu Carly yang membawakan Ellen sekeranjang buah lagi. “Oh… tidak apa – apa,Bu. Aku hanya kawathir dengan kesehatan nenek akhir – akhir ini.” jawabnya kemudian. Ellen tak mau berterus terang dengan apa yang sebenarnya dirasakannya. Sama halnya dengan Arthur, gelisah yang luar biasa juga melanda Ellen. Membuat pikirannya tak menentu.
Sementara di sebuah rumah kecil, Arthur telah bersiap untuk berangkat lagi pagi itu. Dan seperti biasa Lisa mengantarnya sampai depan pintu. “Lisa.. maafkan aku ya semalam.., aku tak tahu harus…” . “Oh… sudahlah.. aku tidak apa – apa, berangkatlah bekerja..” kata Lisa yang segera memotong kata – kata Arthur sambil tersenyum. “terimakasih Lisa..” kata Arthur yang kemudian langsung berlalu. “sama – sama..” jawab Lisa pelan.
Hari itu cuaca sangat terik, para buruh seperti biasa bekerja dengan pengawasan ketat. Satu jam, dua jam, sampai tiga jam berlalu. Hingga sore hari pun menyambut. Bangunan yang dikerjakan para buruh sudah mencapai tinggi yang ditetapkan. Tak diduga bangunan ini selesai sebelum waktu yang ditentukan. Para pengawas sekali lagi tampak sangat puas dengan pekerjaan para buruh. Terlihat salah satu pengawas berbicara dengan seorang pejabat kota itu. Dan pejabat itu memberikan kode untuk menghentikan pekerjaan itu. Dan dengan segera salah seorang pengawas memberi komando kepada para buruh. “Perhatian..!! untuk hari ini cukup sekian..! Untuk finishing akan dilanjutkan besok saja, dan lusa bangunan ini akan segera diresmikan. Makanan dan minuman telah kami siapkan untuk kalian semua..”. Kata – kata pengawas itu disambut gembira dan suka cita oleh para buruh. Mereka semua segera bergegas membereskan peralatan dan mulai menikmati makanan. Arthur hanya mengambil minuman dan segera meninggalkan taman kota. Ia tau apa yang harus dilakukannya sore itu. Sementara para buruh lain merayakan keberhasilan hari itu ditaman kota. Arthur dengan semangat berlari menuju pantai. Dadanya bergetar, kerinduannya mendera luar biasa. Semakin cepat dan semakin cepat dia berlari. Hingga pantai pun tampak olehnya. Dia tak bisa menahan lagi untuk bertemu dengan Ellen hari ini. Masi dengan berlari Arthur menuju pondok dipantai itu. Dan dari kejauhan dia bisa melihat sosok wanita cantik sedang menghadap kelaut, berdiri didepan pondok, dengan rambut yang terurai indah. Ellen juga sedang menunggunya. Hatinya semakin bergejolak saat melihat Ellen. “Ellen…” teriaknya. Ellen lalu menoleh dan melihat pangerannya sedang menghampirinya dengan berlari. Senyum lebar terlukis diwajahnya. Jantungnya tiba – tiba saja berdegup sangat kencang melihat Arthur hadir sore itu. Dengan cepat Arthur pun telah sampai dipondok itu. Mereka saling berhadapan dan Arthur dengan segera memeluk erat Ellen. “Aku sangat merindukanmu, Ellen..” katanya dengan nafas yang tak teratur. Ellen merasakan ketenangan luar biasa saat dipeluk oleh Arthur. “Aku juga Arthur.. aku sadar aku tak bisa hidup tanpamu…” dengan jantung yang masi berdetak kacau, Ellen mengungkapkan semua rasa rindunya kepada Arthur. Arthur tanpa menunda langsung melabuhkan sebuah ciuman kebibir Ellen. Ellen juga menyambutnya dengan hanya terdiam. Seperti hatinya tak perlu berontak dengan semua ini. Inilah yang dia inginkan saat ini bersama orang yang sangat ia sayangi. Nafas mereka saling beradu satu sama lain, ciuman demi ciuman dilabuhkan Arthur pada wanita pujaannya. “Aku sayang kamu, Ellen…” katanya sambil tetap menciumi Ellen. “Jangan tinggalkan aku Arthur…” balas Ellen yang semakin pasrah pada Arthur. Tak lama posisi mereka telah berubah, mereka berdua telah berada diatas pondok, sore itu berubah menjadi gelap, dan tempat itu sangat sepi. Membuat kerinduan yang memuncak berubah menjadi nafsu satu sama lain. Arthur mulai melucuti pakaian Ellen, tangannya tak berhenti bertindak. Dengan tetap menciumi Ellen, Arthur membuka pakaiannya juga. Tak ada yang bisa menghentikan mereka berdua malam itu. Mereka berdua larut dalam percintaan, dan malam itu sama sekali hanya mereka berdua yang ada disana. Seperti semuanya mendukung malam mereka berdua. Kini tak satupun kain menempel pada tubuh mereka. Arthur menatap Ellen untuk beberapa detik, dan Ellen meresponnya. “Lakukanlah….” Kata Ellen pada Arthur. Tanpa menunggu apa –apa lagi Arthur segera meniduri Ellen, malam itu benar – benar menjadi milik mereka berdua.
Dinginnya malam tak sanggup mengalahkan kehangatan yang tercipta antara mereka berdua. Inilah kali pertama Arthur melakukan hubungan intim, dan dia sama sekali tak kelihatan amatir melakukannya. Malam semakin larut dan mereka berduapun menyudahinya saat Arthur mencapai ejakulasi. Ellen bersandar dipundak Arthur, dia semakin sayang dan tak mau lepas dari Arthur. Pengalaman yang baru saja terjadi padanya sama sekali tak disesalinya. Arthur mengusap rambut Ellen dengan lembut dan menciumi keningnya. “Ellen.. terimakasih untuk malam ini..Aku semakin menyayangimu, kini kita telah menjadi sepasang kekasih..” katanya kemudian. “Sama – sama Arthur.. Aku juga tau sekarang kalau aku sangat sayang padamu dan tak mau kehilanganmu.” Sejenak mereka terlarut dalam kerinduan. “Malam ini sama skali tidak ada bintang..” kata Ellen sambil menatap langit. “Semua bintang ada dimatamu, sayang…” Arthur lalu menyambut kata –kata Ellen yang segera membuat Ellen tersenyum. Arthur dan Ellen masi saling mengobati rasa rindu mereka di pantai itu. Pakaian mereka telah kembali melekat ditubuh mereka. Mereka berdua seperti tak mau mengakhiri kebersamaan malam itu. Dalam diam atau tidak tetap mereka nikmati bersama.
Sementara itu Lisa dengan gelisah sedang mununggu Arthur dirumahnya, minuman yang disiapkannya menjadi tak hangat lagi. Lisa tau bahwa para buruh sudah meninggalkan taman kota sejak sore hari. Tapi Arthur tak kunjung pulang. Lisa tetap menunggu dan menunggu. Dia duduk di kursi sebelah meja makan dan menunggu Arthur sambil membaringkan kepalanya dimeja. Lelah yang tak tertahankan membuatnya tertidur di meja itu.
Sejam kemudian suara berisik gagang pintu membangunkan Lisa. Seseorang berusaha membuka pintu dari luar namun Lisa menguncinya. “Siapa itu?” kata Lisa. “Lisa ini aku, Arthur..”. Mengetahui itu Arthur, Lisa dengan segera langsung menuju ke pintu. Rasa kawatirnya diganti bahagia malam itu. Dia lalu membukakan Arthur pintu, dan beberapa saat kemudian pintu terbuka seluruhnya. Wajah Lisa langsung berubah. Dia terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Hai Lisa, kenalkan ini Ellen, kekasihku..” Arthur memperkenalkan seorang gadis kepada Lisa sebagai kekasihnya, seketika itu hati Lisa terasa hancur. Wajahnya tegang dan tak percaya. Tak ada apa – apa yang bisa dikatakannya. Mulutnya tak sanggup berkata apa – apa. “Ellen.. ini Lisa, dia sepupuku. Kami tinggal bersama disini.” Lanjut Arthur yang kini memperkenalkan Lisa. Tangan Lisa dengan pelan terangkat dan menyalami Ellen, wajahnya dipaksa tersenyum. “E…. silakan masuk..” kata Lisa pelan dan sedikit tertunduk. Arthur pun menggenggam tangan Ellen dan mengajaknya masuk. Mereka berdua melewati Lisa. Hati Lisa semakin hancur melihat itu. Dia kemudian menutup pintu dengan pelan tampak tak ada semangat. Bagaimana bisa Arthur membawa seorang gadis ke rumah dan memperkenalkannya sebagai kekasih disaat dia sudah hampir mantap mengungkapkan perasaannya pada Arthur. Itu sangat menyakitkan bagi Lisa.
Arthur kemudian mempersilahkan Ellen untuk duduk, Lisa pun lalu duduk bersama mereka. “Lisa, Ellen akan menginap disini malam ini, aku harap kau bisa menemaninya.” Kata Arthur sambil menatap tersenyum pada Ellen. Lisa hanya mengangguk pada Arthur. “Kau kenapa Lisa? Kau tampak tak sehat..” kata Arthur yang tak sadar dengan perubahan sikap Lisa. “Oh… aku baik- baik saja, cuma kecapean..”katanya kemudian. “Lebih baik kalian tidur saja sekarang,ini sudah sangat larut.” Arthur lalu membantu Ellen untuk berdiri, dan Lisa semakin tak habis pikir kenapa Arthur bisa jatuh cinta pada wanita berkaki satu ini. Lisa pun langsung menuju kamarnya tanpa berbicara sepatah kata pun pada Ellen. Malam itu sangat membuatnya hancur. Saat semua telah terlelap Lisa hanya bisa menahan air mata yang hampir bercucuran sejak tadi. Sakit hati membuatnya sama sekali tak bisa beristirahat dengan tenang.
……………………………………………………………………………………………………………………….
Pagi menjemput, suasana rumah Arthur hanya diwarnai aksi diam oleh Lisa, harapannya bahwa ini hanya mimpi ternyata tak terwujud. Arthur lalu meninggalkan rumah ditemani oleh Ellen. Ellen menemaninya bekerja di taman kota. Lisa hanya bisa melihat mereka berdua keluar bersama dari dalam rumah. Dia tersandar dipintu, terduduk dan kemudian menangis. Air matanya mengalir deras tak terbendung. Dia tak sanggup menahan sakit hati yang menderanya. Perasaannya hancur dalam semalam. Hanya kesedihan yang tersisa.
Sementara itu di taman kota, Arthur dengan semangat melanjutkan pekerjaanya. Sesekali dia melirik Ellen yang sedang menunggunya di salah satu bangku taman. Pagi pun berganti siang. “Selesai..!” salah satu buruh berteriak kencang. Sebuah bangunan mirip menara telah berhasil berdiri di tengah taman kota. Tak lama kemudian, suara gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai membahana di taman kota itu. para buruh merayakan keberhasilan ini. Arthur pun bergegas menghampiri Ellen dan memeluknya. Suasana bahagia sangat terasa dalam beberapa saat ditaman kota. “Ellen.. ayo kita rayakan ini bersama teman – teman…” kata Arthur yang kelihatan sangat senang. “Baiklah..” . Mereka berdua lalu berkumpul bersama para keluarga buruh yang juga datang ke taman kota. Para pengawas juga ikut merayakan keberhasilan ini. “Perhatain..!!” terdengar suara lantang dengan bantuan pengeras suara dari salah satu pengawas. “Besok bangunan ini akan diresmikan oleh wali kota ditemani para pejabat dikota ini, diharapkan para warga datang dan menyaksikan peresmian ini, sekaligus menjadi saksi sejarah baru dikota kita.” Pengumuman itu disambut tepukan luar biasa dari semua buruh dan keluarga yang datang. Perayaan kemudian berlanjut hingga sore hari. Arthur dan Ellen larut dalam kegembiraan. Sementara itu Lisa juga datang mengunjungi taman kota. Tetapi dia tak ingin terlihat oleh Arthur. Dia hanya ingin melihat apa yang dilakukan Arthur sore itu. “Ellen.. ayo kepantai..” ajak Arthur. Ellen hanya mengangguk manis kepada Arthur.
Mereka berdua lalu menuju kepantai, Lisa pun mengikuti mereka dari belakang. Dengan hati – hati Lisa mengikuti mereka berdua agar tak ketahuan. Sepanjang jalan Lisa berusaha mendengar percakapan antara Lisa dan Ellen sampai mereka tiba di pantai. Arthur dan Ellen langsung menuju ketempat favorit mereka. Dari balik pohon Lisa bersembunyi sambil berusaha melihat apa yang Arthur dan Ellen lakukan. Saat itu langit mulai gelap. Tetapi Lisa tak putus asa, dia terus berusaha melihat apa yang terjadi. Dan betapa terkejutnya dia dengan apa yang dilihatnya. Arthur mencumbu Ellen dengan penuh nafsu. Lisa tak rela melihat ini semua, sakit hatinya semakin bertambah ketika Arthur mulai meniduri Ellen. Tiba – tiba Lisa mengingat sesuatu yang membuatnya berniat mengakhiri ini semua. Dia teringat percakapan majikannya tempo hari. Dia langsung berlari menuju kota sambil mengusap matanya yang tak henti berurai air mata. Langkahnya penuh dendam, amarahnya tak terbendung lagi. Dia tak sempat lagi berpikir jernih, yang dia mau hanya kepuasan untuk membalas dendam. Lalu tibalah Lisa di sebuah bangunan yang terletak di dekat rumah majikannya, bangunan yang sempat didengarnya dari majikannya. Dia lalu memasuki bangunan itu. Tampak para pejabat dan banyak opsir sedang bercakap – cakap. Sepertinya suatu hal yang sangat penting. Lisa kemudian berteriak tiba –tiba didepan mereka semua. “Kota ini tidak suci lagi….!!! Aku melihat mereka, aku melihat tindakan tak senonoh..” katanya tergesa – gesa. Semua orang diruangan itu lalu tersontak. “Apa maksudmu nona??” kata salah satu opsir yang berniat mengusirnya. “Ada pasangan yang belum menikah melakukan hubungan intim di tempat yang tak semestinya..! bukankah kalian sangat memusatkan perhatian untuk hal yang satu ini? bukankah kota ini suci? Dimana tanggungjawab kalian menjaga kota ini..?!!” Lisa masi bernapas dengan tak teratur. “APA??!!” seorang pejabat berkumis tebal sangat geram mendengar itu. “Baiklah..!! semua Opsir ikuti wanita ini dan tangkap mereka yang berbuat najis dikota ini..!!!” katanya lagi.
Segera semua opsir bersiap dan mengikuti Lisa yang dengan tergesa berjalan keluar. Jumlah mereka lima belas orang. Lisa semakin mempercepat langkahnya, dendamnya semakin memuncak. Sementara itu, sepasang kekasih masi sedang menikmati percintaan mereka. Tak banyak posisi bercinta yang dapat mereka berdua lakukan karena keadaan Ellen, wanita berkaki satu. Mereka tak sadar bahwa bahaya sedang mendekati mereka. Mereka berdua masi terlarut dengan percintaan. Tak lama kemudian, Lisa dan semua opsir telah berada di area pantai. “Mereka ada dipondok itu..” kata Lisa sambil menunjuk sebuah pondok yang berjarak kira – kira seratus lima puluh meter dari tempat mereka. Segera para opsir menuju tempat itu dengan membawa berbagai peralatan penangkapan. Suara berisik ternyata menyadarkan Arthur. “Apa itu?” katanya sambil berusaha melihat kekejauhan. “hah… ada orang disana, mereka seperti menuju kesini..!” Arthur yang panik dengan secepat kilat mengenakan pakaiannya. Dia juga membantu Ellen yang panik setengah mati. Sementara itu orang – orang yang hendak menangkap mereka semakin jelas terlihat. Arthur lalu menarik Ellen dan memaksanya berlari dengan kondisi seperti itu. “Tangkap mereka..!!!” kata salah satu opsir yang berlari paling depan. Arthur dan Ellen kemudian sangat tergesa – gesa. “Arthur.. bagaimana ini?” kata Ellen dengan wajah panik. Arthur tak menjawabnya, dia hanya berusaha menarik Ellen yang sangat memperlambat pergerakan mereka berdua. “Hei..!! jangan lari!!” Para opsir semakin mendekati mereka. Tiba – tiba karena tak kuat, Ellen terjatuh. “Arthur, tinggalkan aku..” katanya pada Arthur. “Tidak mungkin aku meninggalkanmu sendirian tertangkap.” Katanya kemudian. Tapi sebagian hati Arthur menjadi pengecut, dan sebagian kecil masi tak rela meninggalkan Ellen. “Sudah..!! cepatlah pergi..! Pergi!!” teriak Ellen padanya. Arthur lalu terdiam, dan memang dalam pikirannya saat ini hanya ingin meloloskan diri. Dia tiba – tiba melepas tangan Ellen, “Ellen, maafkan aku…” dengan tergesa Arthur lalu berlari. Dia berlari dengan sangat cepat. Kegelapan malam sangat membantunya tak terlihat. Iya berlari meninggalkan pantai kearah kota. Ellen pun tertangkap. Ellen diangkat dengan paksa dan digiring ke kota untuk diadili. Dia tampak pasrah. “Kita berpencar untuk mencari pria itu..!!” kata seorang opsir. Kemudian mereka berpencar dan mencari Arthur yang telah hilang menuju kota. Ellen melihat Lisa dibelakang para opsir. Sesaat mereka bertatapan, dan Lisa memberikan Ellen senyuman sinis. Hal itu membuat Ellen sadar siapa dalang semua ini. Tapi sekali lagi dia sudah pasrah dengan ini. Malam yang sekiranya indah, berubah menjadi mimpi buruk bagi pasangan itu. Sementara Arthur sedang bersembunyi disudut kota, berharap keberuntungan menghampirinya.
………………………………………………………………………………………………………………..
Pagi keenam, dimana Walikota sedang meresmikan proyek ditengah taman kota. Arthur masi tak tampak dimana –mana,bahkan untuk peresmian itu sekalipun. Sementara itu diwaktu yang sama, duduklah Ellen disuatu ruangan tertutup. Banyak kursi yang tersusun rapi, dan dia terduduk didepan kursi itu. Ellen sedang menghadapi pengadilan. “Jadi… kau tetap tidak mau mengatakan siapa laki – laki itu??” kata seorang penuntut. Ellen hanya menggeleng – gelengkan kepalanya. Sejak tadi dia hanya dirundung oleh banyak pertanyaan tentang Arthur, tapi dia sama sekali tak mau memberikan keterangan apa – apa. “Nona, kemungkinan hukumanmu akan diturunkan jika kau mau memberikan informasi tentang pria itu.” kata pembantu hakim yang duduk didepannya. Ellen masi saja terdiam. Mendengar itu Lisa yang duduk di barisan depan langsung mengeluarkan protes. “Apa ini..!!?? tak semestinya wanita ini mendapat keringanan hukuman, dia jelas – jelas menodai kota ini. Dimana janji kalian untuk menegakkan hukum untuk kesucian kota ini?” katanya sambil berdiri. Orang – orang yang melihat persidangan setuju pada Lisa, mereka lantas melayangkan dukungan terhadap Lisa dan sesaat ruangan itu menjadi sedikit ricuh. Ellen masi saja terdiam. “Tenang.. tenang!! Kata hakim bertubuh gendut sambil mengetok –ngetok palu. “Baiklah.. Nona Ellen… Anda dinyatakan bersalah dan didakwah hukuman mati sesuai dengan pasal yang berlaku untuk kota ini..”. Orang – orang lalu bertepuk tangan dan tampak setuju dengan keputusan hakim. Lisa tersenyum puas. Ellen hanya menghela nafas dan tak berkata apa – apa. Segera dia digiring keruang tahanan menunggu hukuman yang akan di hadapinya esok hari. Sementara Lisa langsung meninggalkan ruangan sidang. Dia mengelilingi kota sendirian mencari Arthur, tapi sampai malam haripun dia tak menemuinya. Entah dimana Arthur sedang bersembunyi. Tiada yang tau keberadaannya. Ellen hanya terus terdiam disel tahanannya, dia tetap berharap Arthur tak tertangkap.
…………………………………………………………………………………………………………………
Sore yang dingin di hari berikutnya, Lisa tau detik –detik kematiannya semakin dekat. Tapi dia sama sekali tak takut, dia telah pasrah dengan nasib yang menimpanya. Dalam tahanan dia hanya bisa berdoa dan berdoa untuk keselamatan orang yang dicintainya. Tak sedikitpun dia peduli terhadap dirinya. Kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati selnya. Dua opsir sedang menuju ketempatnya. “Nona.. apa Anda sudah siap?” katanya dengan nada pelan. “Aku siap kapanpun kalian siap.” Kata Ellen tegar. Pintu selpun dibuka dan Ellen digiring kesuatu ruangan. Diruangan itu terdapat meja yang diatasnya terletak penutup mata berwarna hitam. Seorang opsir lalu memasang penutup mata itu pada Ellen. Kemudian dia digiring lagi keluar bangunan dan dinaikkan ke sebuah kendaraan dengan mata yang masi tertutup.Dia tak tau sama sekali dibawa kemana, sesaat jantungnya berdetak kencang tapi dia berusaha menenangkan dirinya. Tak lama kemudian dirasakannya bahwa kendaraan yang membawanya telah berhenti. Seseorang memegang tangannya, dan membantunya turun dari kendaraan. “Nona kita telah sampai..” kata seseorang kepada Ellen. Setelah menuruni kendaaraan Ellen dapat mendengar suara banyak orang disekitarnya, seperti suara banyak manusia berbicara. Tak jelas apa yang bisa didengarnya, tetapi dia bisa tau bahwa disekitarnya berdiri banyak orang.
Dengan terdiam kembali dia digiring kesuatu tempat. “Nona.. saya akan membantu Anda menaiki tangga – tangga ini.” Dengan perlahan Ellen menaiki anak tangga demi anak tangga. Dia semakin sadar waktunya semakin sempit. Dia hendak menangis saat itu, bukan karena dia takut menghadapi kematiannya, tetapi karena dia merindukan Arthur. Hatinya tak bisa menahan rasa rindu luar biasa terhadap Arthur,dan dengan tetap memikirkan Arthur dia menaiki anak tangga demi anak tangga sampai kepuncak bangunan. Dari bawah telah banyak orang yang menyaksikan. Ekspresi wajah mereka semua sangat bervariasi. Sore itu benar – benar kelabu. Sebuah bangunan yang baru diresmikan sehari sebelumnya ternyata adalah tempat penghakiman. “Nona.. ada kata – kata terakhir??” kata salah seorang kepadanya. Ellen hanya terdiam, dia masi mengatur nafasnya. “Tampaknya tak ada.. kita lakukan saja sekarang.” Kata Seorang opsir yang menunggu komando. “Tunggu…” kata Ellen tiba – tiba. “Aku mau menyampaikan sesuatu..” lanjutnya dengan tenang. Orang – orang yang berada disana mendadak tenang, mereka ingin sekali mendengar Ellen berbicara untuk yang terakhir kalinya.
Tak jauh dari taman kota Arthur memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya. Dia sudah pasrah jika sesuatu nanti menimpanya. Ada sesuatu yang membuatnya harus keluar dari persembunyian saat itu. Kata hatinya seperti menariknya untuk menuju ke taman kota. Mendekati taman dia bisa melihat banyak kerumunan disana, dia penasaran dengan apa yang terjadi. Semakin dekat dia dengan taman sampai dia mulai bertanya pada orang yang berada didekatnya. “Maaf.. ada apa ini?” katanya kepada orang itu. “Seorang wanita akan dihukum mati di menara itu.” kata orang itu sambil menunjuk sebuah bangunan yang sama sekali tak asing bagi Arthur. Bangunan yang dikerjakannya seminggu ini, bangunan yang sempat dia rayakan bersama Ellen. Dia mulai mendekati tengah taman dan semakin jelas apa yang terjadi. Jantung Arthur mendadak berdegup sangat kencang melihat pemandangan yang ada didepannya. Dengan berdesakan dia mencoba melihat lebih dekat. Akhirnya dia yakin bahwa Ellen akan dikenai hukuman gantung dimenara yang dibangunnya. Dia telah membangun sesuatu yang akan merenggut nyawa kekasihnya. Wajahnya menegang semakin tak percaya.
Kemudian Ellen mulai berbicara. “Seminggu yang lalu aku bertemu dengan seorang lelaki, lelaki yang sama sekali tak ku kenal dan tak pernah kuharapkan kedatangannya…. Saat itu adalah hari dimana aku akan mengakhiri hidupku….. Hari ketika kupikir bahwa tak ada lagi gunanya aku hidup… Tetapi dia datang.. Dia datang menyelamatkan aku, dia datang dengan membawa harapan… harapan untuk merasakan cinta yang telah terenggut dari ku… Hari demi hari kulalui bersamanya… Aku bahagia bersamanya dan merasakan bahwa Tuhan begitu baik padaku karena telah menghadirkan dia dalam hidupku… walau hanya singkat, tapi aku bahagia pernah merasakan cinta darinya… Cinta yang membuatku bisa menghargai hidup ini lebih lagi…” Arthur sangat terpukul dan merasa bersalah mendengar kata –kata Ellen, tapi tak ada yang bisa ia perbuat, lalu Ellen melanjutkan kata – katanya. “Dimanapun dia sekarang ini tak penting bagiku, yang penting dihatiku aku masi bisa merasakannya.., aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padanya… aku sangat mencintainya….” Arthur tak sanggup lagi mendengarnya, dia berbalik arah, menerobos banyak kerumunan dan berlari kepantai, tempat pertama kali dia bertemu dengan Ellen. Disaat yang bersamaan salah seorang opsir memberi kode untuk menarik lantai penahan menara tempat Ellen berdiri. Seketika Ellen tergantung di menara itu. Banyak orang yang menyaksikan kejadian tragis itu. Ellen telah tiada, menara itu jadi saksi berakhirnya hidup wanita berkaki satu.
Arthur berlari semakin kencang, kakinya telah menyentuh pasir pantai. Dia berhenti diatas pembatas pantai, tertunduk, dan menangis terisak. Tangannya dikepal dan dipukulkan berkali –kali ke tembok pada pembatas pantai. Air matanya menetes deras dan dia semakin terisak. Hanya sesal yang kini menderanya. “Elle…n….n.. Maafkan aku… maa..f…..” katanya sambil tertunduk dan terus menyesali diri. Sore itu kota menjadi kelam dan laut menjadi saksi percintaan antara Arthur dan Ellen yang berakhir tragis.
Read More..
.jpg)
